Kamis, 26 November 2009

Lawan Stigma PLS

Bukan hal yang aneh ketika semua orang berpikiran pendidikan akan menghasilkan pekerjaan. Orang kuliah selama lebih kurang 4,5 tahun hanya untuk mendapatkan tiket di tempat kerja yang bonafit tentunya…

Pendidikan tidak lagi memberikan semangat yang positif untuk memajukan diri sendiri dengan cara yang harus dan bisa dilakukan sendiri tanpa berharap dan berpangku tangan dari orang lain. Pendidikan Luar Sekolah seharusnya bisa lebih berperan dibandingkan dengan jurusan lain, karena PLS adalah sebuah jaringan yang luas yang saya sendiri tidak tahu betul seluas apakah pendidikan yang diajarkan PLS. Seakan mahasiswa PLS adalah “sapi perah” yang setiap saat dibutuhkan bisa dan siap membantu. PLS harus professional tidak saja selalu sosial yang dijadikan ujung tombak tetapi ada suatu nilai lebih yang bisa memandirikan anak didik (mahasiswa PLS) agar bisa berpeluang untuk maju.

“…mengasing masyarakat dari proses pengambilan keputusan sama dengan mengubah mereka menjadi obyek. Situasi apa pun di mana beberapa orang mencegah orang-orang lain untuk melakukan penyelidikan adalah juga suatu bentuk kekerasan.” (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed – 19..)
Adalah pilihan sadar bahwa dalam segala ikhtiar multi dimensional untuk membantu, melindungi, dan membela mahasiswa PLS khususnya dari ketidakadilan peluang lulusan dan kompetensi yang “sebenanya,” problem posing, learning b doing, dan community based education sebagai suatu pendekatan yang harus diterapkan kepada mahasiswa PLS. Sampai saat ini hal tersebut selalu dilemparkan kepada masyarakat yang sebenarnya praktisi nya pun tidak paham betul…!

Ketika ada suatu komunitas yang bersedia dan siap untuk memperjuangkan hak-haknya harus kita sambut, terkait masalah individu yang rumit…ya itu urusan pribadi anda. yang jelas beranikan diri kita untuk bisa survive dengan ke-PLS-an nya.

Sumber

MENYIKAPI LANGKANYA FORMASI PLS DALAM CPNSD 2008

MENYIKAPI LANGKANYA FORMASI PLS DALAM CPNSD 2008
Oleh : M Abdul Chafidl, S.Pd


Bulan November ini adalah bulan yang dinanti-nanti oleh para sarjana baik yang baru saja lulus maupun yang sekian tahun lulus dan belum diangkat menjadi PNS karena menikmati pengabdian diinstansi pemerintahan atau lebih bangga menjadi Investor akhirat. Sebagian dari mereka menganggap inilah hari raya setelah sekian tahun berpuasa. Pelaksanaan CPNS khususnya di Jawa Tengah dilaksanakan secara serentak dengan tes di masing-masing kota. Sebagian orang masih bisa mengucapkan Alhamdulillah/Puji Tuhan ketika formasi diumumkan, namun sebagian masih menampakkan raut muka yang sewot, sedih, kecewa dan bahkan ada yang sampai menyobek kertas yang dikeluarkan dari BKD itu.
Rasa kecewa itu wajar muncul karena mereka tidak terakomodir dalam formasi CPNSD, seperti teman-teman wiyata bakti (investor akhirat) yang sudah sekian tahun bekerja di instansi pemerintah dan berharap 2008 ini diangkat menjadi PNS sesuai janji awal pemerintah yang terpilih di 2004. dan beberapa teman-teman PLS yang melihat formasi Pamong belajar diambilkan dari bidang studi bukan Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Melihat realita tersebut muncul beberapa pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi pada PLS? apakah Kurikulum yang diberikan kita tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan?, apakah pemerintah tidak paham atau tidak tau keberadaan Jurusan PLS?, atau karena apa?!.

Tentang PLS
Meskipun yang membaca tulisan ini sebenarnya sudah paham apa yang namanya Pendidikan luar sekolah, tapi alangkah baiknya kita runut untuk membuka kembali memori tentang PLS itu. PLS merupakan kepanjangan dari Pendidikan Luar Sekolah tapi ada juga yang mengartikan “Paguyuban Lawak Semarang” atau bahkan “Pendidikan Luas Sekali” Karena mereka beranggapan bahwa cakupan PLS sangat luas sekali sehingga mereka memberikan kepanjangan seperti itu, Pendidikan luar sekolah adalah salah satu bentuk upaya pemerintah dalam bidang pemerataan pendidikan, ruang lingkup cakupan PLS adalah masyarakat yang tidak tertampung dalam pendidikan formal, karena tidak selamanya pendidikan formal dapat menampung seluruh masyarakat, dengan alasan keterbatasan biaya, kemampuan berfikir atau bahkan motivasi yang rendah, oleh karena itu untuk mencapai tujuan nasional pemerintah membuka jalur pendidikan luar sekolah.
Seiring berjalannya waktu nama pendidikan luar sekolah dirubah menjadi pendidikan Nonformal yang masih memiliki esensi sama. Beberapa program Pendidikan Nonformal antara lain adalah Keaksaraan Fungsional, Kesetaraan, Kursus, Kecakapan hidup (Life Skill) dan Pendidikan Anak Usia Dini.
Dibandingkan dengan pendidikan Formal cakupan PNF sangat luas sekali karena yang dihadapi adalah masyarakat di luar pendidikan formal dari usia balita sampai usia 40 tahun. Namun sebaliknya pemerintah masih memandang sebelah mata terhadap PNF, meskipun sekarang instansi pemerintah yang menanggani PNF bangga dengan adanya program yang katanya banyak, namun sebenarnya itu hanya mencakup sisi luarnya saja, atau bahkan malah salah sasaran.
Selain itu Tenaga PNF masih terhitung sedikit katakanlah 1 TLD menanggani 1 kecamatan, rata-rata pamong belajar di jawa tengah kurang dari 10 pamong belajar, meskipun ada yang melampaui 10 kebanyakan mereka bukan dari pendidikan luar sekolah. Bayangkan saja 1 TLD menanggani 1 kecamatan alhasil warga belajarnya juga sample saja, atau jika TLD 1 dan katanya programnya banyak yang terjadi selanjutnya adalah Program atau Laporan program hanya sulapan saja, “bim salabim” laporan jadi tapi pelaksanaannya Nol, makanya tidak salah lagi kalau orang mengartikan PLS itu adalah “Paguyuban Lawak Semarang” karena kalau kita melihat dengan seksama membuat kita terpingkal-pingkal atau bahkan kepuyuh-puyuh.
Pasca otonomi daerah kesiapan pemerintah daerah dalam menyikapi pendidikan luar sekolah masih terlihat kaget, mungkin belum terbiasa atau bahkan belum mengetahui tentang pendidikan luar sekolah, karena kepahamannya hanya sebatas pendidikan formal saja. Terlihat dalam beberapa program yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis Daerah terkadang belum mendapatkan support dari pemerintah daerah.

Masih adakah jurusan pendidikan luar sekolah?
Masih teringat dibenak saya waktu OKKA (Orientasi Kehidupan Kampus) Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, ketika ditanya apa motivasi anda masuk Jurusan PLS?, hampir seluruhnya menjawab salah jurusan, dan bahkan setiap kali menjadi panitia pelaksana OKKA ketika menanyakan hal yang sama pada adik kelas jawabannya juga sama, salah jurusan. Apa memang sudah “Nasnya” kalau mau masuk jurusan PLS harus salah jurusan, kalau tidak salah jurusan kurang “afdhol”.
Motif yang didasari salah jurusan memunculkan beberapa kemungkinan pertama tidak sadar kalau salah jurusan, misalnya “karena pikiran kosong kemudian ada bus yang menawari gunungpati…gunungpati…karena pikiran kosong mendengarkan gunungpati….gungungpati…. asal naik saja tidak dimengerti dulu apakah lewat Manyaran atau lewat Sekaran yang penting gunungpati”. Yang kedua dengan sadar bahwa dia sengaja naik jurusan yang salah mungkin hanya untuk berekreasi, atau sebagai batu loncatan. Misal ingin masuk jurusan yang populis (bahasa Inggris atau ekonomi) tidak diterima kemudian masuk jurusan PLS setelah menempuh tiga semester baru pindah jurusan, “Kacian ya hanya sebagai batu loncatan”.
Dalam ekonomi pendidikan, pendidikan adalah investasi masa depan. Dalam konteks ini adalah ketika orang tua memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan dengan mengeluarkan uang, tentunya ada sesuatu yang akan dituai nantinya. Penentuan jurusan tidak selayaknya seenaknya karena berkaitan dengan masa depan.
Dari fenomena di atas muncul pertanyaan dalam benak saya, kenapa teman-teman PLS menggunakan motivasi salah jurusan ketika masuk di jurusan PLS. apakah mereka tidak tahu jurusan PLS?. dari beberapa teman seangkatan menceritakan bahwa persepsi mereka terhadap PLS adalah PLB (Pendidikan Luar Biasa), kemuadian ada yang mengira jurusan Bimbingan Konseling, sedangkan saya sendiri adalah paksaan dari kakak, kata kakak saya “Pokoke kamu harus masuk PLS, karena sudah sesuai dengan bidangmu”. Yang dilihat kakak saya adalah sejak kecil sampai SMA selalu aktif berorganisasi baik di sekolah maupun desa. Niatan kakak saya supaya saya dapat ilmu tentang Psikologi masa, itu saya!.
Memang tidak bisa dipungkiri sebagian besar mahasiswa PLS tidak mengerti tentang PLS. Apologi jurusan pada waktu OKKA jurusan adalah sebagai berikut “Belajar adalah dari tidak tahu menjadi tahu”. Memang ada benarnya ketika motivasi itu sudah tinggi bukan salah jurusan, nah kalau mahasiswa motivasinya salah jurusan apa tidak “Aras-arasen” alias malas-malasan.
Memasuki dunia yang baru memang tidak semudah yang dibayangkan, perlu proses awal untuk mengetahuinya berawal tidak tahu menjadi tahu proses untuk menjadi tahu harus diimbangi dengan memotivasi diri, jika tidak diimbangi memotivasi diri semuanya itu tidak akan terjadi.
Ditambah lagi dengan proses layanan jurusan terhadap mahasiswa, layanan ini berupa kurikulum yang memadai sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan terhadap Jurusan PLS.
Selama belajar dijurusan PLS yang didapatkan sebagian besar teori saja sedangkan praktek lapangan hanya sebagaian kecil saja. Kalau hanya mengandalkan teori tentunya output pendidikan luar sekolah tidak sesuai dengan yang diharapkan. Karena tuntutan kerjaan PLS berkaitan dengan masyarakat, masyarakat itu unik, masyakarat itu selalu berubah, masyarakat itu komplek. Kalau tidak pernah dilatih dengan praktek-praktek lapangan (bukan PPL saja) lulusan PLS ibarat mendapatkan kejutan listrik 1000watt kaget atau bahkan bisa shock dan pingsan tidak tertolong.
Motivasi mahasiswa sudah muncul, kurikulum yang menunjang kerja setelah lulus, masih belum bisa jadi jaminan terserapnya Output PLS setelah lulus nanti. Karena jika masyarakat tidak membutuhkan, tidak tahu kalau ada jurusan PLS, atau masih meragukan jurusan pendidikan luar sekolah.
Beberapa pemerintah daerah khususnya Jawa Tengah yang memiliki kewenangan dalam kebijakan sepenuhnya tidak mengerti dan bahkan tidak tahu kalau ada jurusan PLS, seperti tadi siang ketika bertemu dengan seseorang yang bergerak dibidang pendidikan bertanya kepada saya soal kelulusan, beliau sempat mengulangi pertanyaan “jurusannya apa mas?trus jurusan apa itu? Yang di tanggani apa?dst, itu individu yang bergerak di pendidikan, kemudian beberapa teman yang memasukkan lamaran CPNSD di pemprov Jateng formasi pekerjaan sosial ditolak dengan alasan jurusan tidak sesuai dan tidak terakreditasi (surat balasan dari pemprov Jateng) yang beralamat di Semarang satu daerah dengan Universitas Negeri Semarang tempat Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Bernaung, nah bagaimana yang tidak satu kota???,
Kejadian menarik terjadi di Kota Salatiga, formasi Pamong belajar diambilkan dari Bidang studi Matematika dan Bahasa Indonesia, dengan alasan bahwa salah satu instansi yang menanggani pendidikan luar sekolah membutuhkan pamong belajar dari jurusan matematika hal ini terjadi karena persepsi instansi tersebut pamong belajar sama seperti guru di sekolah-sekolah formal, tugas pokok pamong belajar yang utama adalah mengajar di program kesetaraan.
Hal teresebut menunjukkan bahwa sebenarnya Bergening Position jurusan pendidikan luar sekolah masih lemah, masyarakat, pemerintah dalam hal ini sebagai penentu kebijakan tidak tahu tentang PLS atau jurusan PLS.
Bukan sesuatu yang aneh sebenarnya jika hal tersebut disikapi dengan bijak, beberapa hal di atas alangkah baiknya dijadikan introspeksi diri untuk pembenahan sistem pendidikan di perguruan tinggi khususnya Jurusan PLS supaya output Jurusan PLS terserap kewilayah yang seharusnya menjadi pekerjaan kita.

Merapatkan barisan demi kelangsungan PLS
Ibarat sebuah pepatah “terlanjur basah ya sudah mandi sekali”. Beberapa alumni jurusan PLS yang bangkit dari motivasi salah jurusan kemudian berusaha untuk memotivasi diri agar muncul keminatan dalam menekuni dunia Pendidikan Luar sekolah, namun alhasil usaha yang dilakukan selama 4 tahun selalu dimentahkan oleh keadaan sehingga menciutkan nyali kita untuk tetap menekuni dunia PLS dan bagaimana dengan adik angkatan, apakah mereka akan menempuh hal yang sama??
Selama masih ada hari esok, selama masih diberi kesempatan untuk bernafas alangkah baiknya kita secara bersama-sama bekerja sama untuk membuat pencitraan menguatkan daya tawar terhadap pembuat kebijakan baik Jurusan, mahasiswa dan alumni.
Muhammad Abdul Chafidl, S.Pd
Tutor Kesetaraan Kejar Paket B dan C
Ketua Forum Tutor Kesetaraan Kota Salatiga